
Terobosan
besar untuk teori gelombang dicapai oleh ilmuwan cemerlang dari Skotlandia
James Clerk Maxwell, pada paruh kedua abad ke-19. Maxwell mendasarkan dirinya
pada kerja eksperimental dari Michael Faraday, yang menemukan induksi
elektromagnet, dan menyelidiki sifat-sifat magnet, dengan kedua kutubnya, utara
dan selatan, yang melibatkan gaya-gaya tak kasat mata yang membentang di bumi
dari ujung ke ujung. Maxwell memberi penemuan empirik ini satu bentuk universal
dengan menerjemahkannya ke dalam persamaan matematika. Karyanya ini membimbing
orang ke dalam penemuan medan, yang kemudian menjadi dasar Einstein
untuk merumuskan teori relativitas umumnya. Satu generasi berdiri di atas bahu
generasi sebelumnya, saling menegasi dan memelihara penemuan yang terdahulu,
terus-menerus memeperdalamnya, dan memberinya bentuk-bentuk dan hakikat yang
lebih umum.
Tujuh
tahun setelah meninggalnya Maxwell, Hertz mendeteksi untuk pertama kalinya
gelombang elektromagnetik yang diramalkan oleh Maxwell. Teori partikel, yang
telah berkuasa sejak Newton, nampaknya dihantam hancur oleh elektromagnetika
Maxwell. Sekali lagi para ilmuwan percaya bahwa mereka telah menggenggam satu
teori yang akan dapat menjelaskan segala sesuatu. Hanya ada beberapa masalah
yang masih harus dibereskan, dan kita akan segera mengetahui apa segala yang
perlu diketahui tentang alam raya ini. Tentu saja, ada beberapa ketidakcocokan
yang mengganggu, tapi nampaknya cukup kecil sehingga dapat diabaikan. Walau
demikian, hanya beberapa dasawarsa kemudian, beberapa ketidakcocokan
"kecil" ini terbukti cukup untuk menggulingkan seluruh struktur teori
yang ada dan mendorong terjadinya revolusi ilmiah yang kuat.
Semua
orang tahu gelombang itu apa. Ia adalah hal umum yang dihubungkan dengan air.
Seperti halnya gelombang dapat dihasilkan oleh seekor bebek yang bergerak di atas
permukaan sebuah kolam, demikian pula sebuah partikel, misalnya sebuah
elektron, dapat menyebabkan satu gelombang elektromagnetik, ketika ia
bergerak melintasi ruang. Gerakan bergetar dari elektron mengganggu medan
listrik dan magnet, menyebabkan gelombang menyebar secara kontinyu, seperti
riak dalam kolam. Tentu saja analogi ini hanya mendekati saja. Ada perbedaan
mendasar antara gelombang air dan gelombang elektromagnetik. Gelombang yang
disebut terakhir ini tidak membutuhkan satu medium kontinyu yang harus
dilaluinya dalam perjalanan, seperti air misalnya. Sebuah getaran
elektromagnetik adalah satu gangguan periodik yang menjalarkan dirinya sendiri
melalui struktur elektrik materi. Walau demikian, perbandingan itu dapat
memberi penjelasan yang lebih terang.
Fakta
bahwa kita tidak dapat melihat gelombang ini tidaklah berarti bahwa keberadaan
mereka tidak dapat kita deteksi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita
memiliki pengalaman langsung merasakan gelombang cahaya dan gelombang radio,
bahkan sinar-X. Satu-satunya perbedaan antara mereka semua adalah pada
frekuensinya. Kita tahu bahwa sebuah gelombang di air akan menyebabkan satu
objek yang sedang mengapung terangkat naik-turun, lebih cepat atau lebih
lambat, tergantung kekuatan gelombang itu sendiri - riak yang disebabkan oleh
seekor bebek tentu jauh lebih lemah daripada yang disebabkan oleh sebuah kapal
motor. Mirip dengan itu, osilasi elektron akan berbanding lurus dengan
intensitas gelombang cahaya.
Persamaan
Maxwell, yang telah didukung oleh Hertz dan lain-lain, menyediakan satu bukti
yang kuat untuk mendukung teori bahwa cahaya merupakan gelombang, yang
memiliki sifat-sifat elektromagnetik. Walau demikian, pada peralihan abad,
orang mengumpulkan bukti-bukti bahwa teori inipun keliru. Di tahun 1900 Max
Planck telah menunjukkan bahwa teori gelombang klasik membuat beberapa ramalan
yang tak dapat dibuktikan dalam praktek. Ia mengajukan bahwa cahaya datang
dalam partikel-partikel diskret atau dalam "paket-paket" (kuanta).
Situasinya menjadi lebih rumit lagi oleh adanya fakta bahwa percobaan-percobaan
lain membuktikan hal-hal yang bertentangan. Dapatlah diperlihatkan bahwa sebuah
elektron adalah sebuah partikel dengan menumburkannya pada layar fluorescent
dan mengamati pendar yang dihasilkan oleh tumburan itu; atau dengan mengamati
jalur yang dibentuk elektron dalam kamar gas; atau melalui titik-titik mini
yang muncul dalam sebuah plat foto yang sudah dicuci. Di pihak lain, jika dua
lubang dibuat di sebuah layar, dan elektron dialirkan melalui sebuah sumber
tunggal, mereka akan membentuk pola interferensi, yang menunjukkan bahwa
elektron memiliki sifat gelombang.
Hasil
yang paling aneh justru didapat dalam percobaan celah-ganda yang terkenal itu,
di mana sebuah elektron tunggal ditembakkan pada sebuah layar yang mengandung
dua celah dan sebuah plat foto di belakangnya. Pada celah yang mana elektron
tunggal itu akan lewat? Pola interferensi yang terbentuk pada plat foto di
belakang celah itu jelas adalah pola yang hanya dapat dibentuk oleh dua celah.
Hal ini membuktikan bahwa elektron melewati kedua celah itu sekaligus
sehingga dapat membentuk sebuah pola interferensi. Ini tentunya bertentangan
dengan hukum-hukum nalar-sehat, tapi percobaan ini tak dapat dibantah lagi
kebenarannya. Sebuah elektron bersifat baik sebagai partikel maupun sebagai
gelombang. Ia berada dalam dua (atau lebih) tempat sekaligus, dan dalam
beberapa keadaan gerak sekaligus!
"Janganlah
kita bayangkan," komentar Banesh Hoffmann, "bahwa para ilmuwan
menerima penemuan baru ini dengan sorak kemenangan. Mereka menentang
penemuan-penemuan ini dan menolaknya sejauh mereka dapat, menciptakan segala
jenis jebakan dan hipotesis alternatif dalam sebuah upaya putus-asa untuk
menyelamatkan diri dari keharusan menerima fakta itu sebagai kebenaran. Tapi
paradoks itu telah hadir dengan menyolok sejak 1905 dalam kasus cahaya, dan
bahkan lebih dulu lagi, dan tidak seorangpun memiliki keberanian atau
kecerdikan untuk menyelesaikan persoalan ini sampai munculnya mekanika kuantum
yang baru itu. Ide baru ini sangatlah sulit diterima karena kita terus secara
insting berusaha membangun gambaran tentangnya dalam bentuk-bentuk partikel
tradisional, dengan mengabaikan prinsip ketidakpastian Heisenberg. Kita terus
menghindar dari penggambaran sebuah elektron sebagai sesuatu yang, sembari
memiliki gerak, mungkin tidak memiliki posisi, dan sembari memiliki posisi,
mungkin tidak mengenal konsep gerak atau diam."[i]
Di
sini kita melihat bekerjanya negasi dari negasi. Pada pandangan pertama, kita
kelihatannya telah menempuh satu lingkaran penuh. Teori partikel cahaya dari
Newton telah dinegasi oleh teori gelombang Maxwell. Teori ini, pada gilirannya,
dinegasi pula oleh teori partikel yang baru, yang dikemukakan oleh Planck dan
Einstein. Tapi hal ini tidaklah berarti kembali pada teori Newtonian lama, tapi
menempuh lompatan kualitatif ke depan, dengan melibatkan satu revolusi sejati
dalam ilmu pengetahuan. Semua ilmu pengetahuan harus dirombak total, termasuk
hukum gravitasi Newton itu sendiri.
Revolusi
ini tidaklah membuat persamaan Maxwell tidak berlaku lagi, persamaan itu tetap
sahih untuk sejumlah besar operasi tentang medan. Yang ditunjukkan hanyalah, di
luar batas tertentu, ide-ide fisika klasik tidak lagi berlaku. Gejala dunia
partikel sub-atomik tidaklah dapat dipahami dengan metode-metode mekanika
klasik. Di sini, ide-ide mekanika kuantum dan relativitas bermain penuh. Pada
sebagian besar waktu di abad ini, fisika telah didominasi oleh teori
relativitas dan mekanika kuantum yang, pada awalnya, ditolak mentah-mentah oleh
orang-orang yang mendominasi ilmu pengetahuan, yang berpegangan erat-erat pada
pandangan-pandangan lama. Ada pelajaran yang penting di sini. Upaya apapun
untuk memaksakan satu "solusi final" terhadap pandangan kita atas
alam raya ini pasti akan menemui kegagalan.
Perkembangan
fisika kuantum merupakan lompatan besar ke muka dalam ilmu pengetahuan, satu
pemisahan yang menentukan dengan determinisme mekanik kuno dari fisika
"klasik". (Metode "metafisik", adalah istilah yang gemar
digunakan Engels untuk menggambarkannya.) Sebagai gantinya, kita mendapatkan
satu pandangan atas alam yang lebih lentur dan dinamis - dengan kata lain,
dialektik. Dimulai dengan penemuan Planck tentang keberadaan kuantum, yang pada
awalnya terlihat sebagai sebuah rincian yang remeh, hampir seperti sebuah
anekdot, seluruh wajah fisika mengalami perubahan. Di sini kita mendapati
sebuah ilmu pengetahuan baru yang dapat menjelaskan gejala peluruhan radioaktif
dan menelaah dengan sangat rinci data spektroskopi yang kompleks itu. Secara
langsung hal itu membawa kita pada pendirian sebuah ilmu baru - kimia teoritik,
yang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang tadinya tak terpecahkan. Secara
umum, serangkaian kesulitan teoritik tersingkirkan, setelah satu sudut
pandangan baru diterima. Fisika baru telah mengungkap kekuatan maha dahsyat
yang tersimpan dalam inti atom. Hal ini membawa kita langsung pada
penyalahgunaan enerji nuklir - jalur yang penuh potensi pengrusakan atas
kehidupan di muka bumi - atau justru pada masa depan yang sampai sekarang tak
berani dibayangkan orang, dengan kelimpahan tanpa batas dan kemajuan sosial
melalui penggunaan fusi nuklir secara damai. Teori relativitas Einstein
menjelaskan bahwa massa dan enerji adalah dua hal yang setara. Jika massa
sebuah objek diketahui, dengan mengalikannya pada kuadrat kecepatan cahaya,
materi akan berubah menjadi enerji.
Einstein
menunjukkan bahwa cahaya, yang sampai saat itu masih dianggap sebagai sebuah
gelombang, berperilaku seperti sebuah partikel. Cahaya, dengan kata lain,
adalah salah satu bentuk saja dari materi. Hal ini telah dibuktikan di tahun
1919, ketika ditunjukkan bahwa cahaya dibelokkan oleh gaya gravitasi. Louis de
Broglie kemudian menunjukkan bahwa materi, yang dianggap hanya terdiri dari
partikel, selalu memiliki pula sifat-sifat gelombang. Batasan antara materi dan
enerji telah dihapuskan untuk selamanya. Materi dan enerji adalah ... sama. Ini
adalah kemajuan raksasa dari ilmu pengetahuan. Dan dari sudut pandang
Materialisme yang Dialektik, materi dan enerji adalah sama. Engels
menggambarkan enerji ("gerak") sebagai "cara mengada, ciri
internal, dari materi".[ii]
Argumen
yang mendominasi fisika partikel selama bertahun-tahun, apakah partikel
sub-atomik seperti foton dan elektron adalah partikel atau gelombang akhirnya
diselesaikan oleh mekanika kuantum yang menegaskan bahwa partikel sub-atomik
dapat, dan memang, berperilaku sebagai partikel dan gelombang sekaligus.
Seperti sebuah gelombang, cahaya menghasilkan interferensi, tapi, sebuah foton
cahaya juga dapat memantul ketika membentur sebuah elektron, berlaku seperti
sebuah partikel. Hal ini bertentangan dengan logika formal. Bagaimana mungkin
"nalar-sehat" menerima bahwa sebuah elektron dapat ada di dua tempat
sekaligus? Atau bahkan bergerak, pada kecepatan yang tinggi tak terbayangkan,
ke berbagai jurusan sekaligus? Cahaya yang berperilaku sebagai gelombang dan
partikel sekaligus akan dilihat sebagai kontradiksi yang tak terselesaikan.
Upaya untuk menjelaskan gejala kontradiktif dari dunia sub-atomik dengan
cara-cara logika formal akan membawa kita meninggalkan pemikiran rasional sama
sekali. Dalam kesimpulannya atas sebuah karya yang ditulis tentang revolusi
kuantum, Banesh Hoffmann sanggup menulis:
"Berapa
sering lagi kita harus mengagumi karya Tuhan yang luar biasa, yang menciptakan
langit dan bumi dari sebuah hakikat primat dari sebuah rincian yang demikian
indah sehingga dengannya Ia dapat menciptakan otak dan pikiran yang bernyala
dengan berkah kemampuan meramal yang ilahiah untuk menerobos misteri
ciptaan-Nya sendiri. Jika pikiran dari seorang Bohr atau Einstein membuat kita
terkagum-kagum dengan kekuatannya, bagaimana kita mulai memuja keagungan Tuhan
yang menciptakannya?"[iii]
Sayangnya,
ini bukan satu contoh yang merupakan pengecualian. Sejumlah besar literatur
modern tentang ilmu pengetahuan, termasuk banyak yang ditulis para ilmuwan itu
sendiri, sangat kuat mengandung pandangan yang mistis, religius atau
kuasi-religius semacam ini. Ini adalah hasil langsung dari filsafat idealis
yang masih dipegang, sadar atau tidak sadar, oleh banyak sekali ilmuwan.
Hukum-hukum
mekanika kuantum akan runtuh di hadapan "nalar-sehat" (yaitu, logika
formal), tapi akan berkesesuaian benar dengan materialisme dialektik. Ambillah,
misalnya, pandangan tentang sebuah titik. Seluruh geometri tradisional
diturunkan dari satu titik, yang selanjutnya menjadi garis, bidang, kubus, dsb.
Walau demikian, pengamatan yang lebih rinci menunjukkan bahwa sebuah titik tidaklah
memiliki keberadaan mandiri.
Titik
dipandang sebagai pernyataan ruang yang terkecil, sesuatu yang tidak memiliki
dimensi. Pada kenyataannya, titik tersebut terdiri dari atom-atom - elektron,
inti atom, foton, dan partikel-partikel lain yang lebih kecil lagi. Pada
akhirnya, ia lenyap dalam sebuah flux gelombang kuantum yang tidak pernah
berhenti bergetar. Dan tidak ada akhir bagi proses ini. Tidak ada
"titik" yang dapat ditetapkan sama sekali. Inilah jawaban final bagi
para idealis yang berusaha mencari "bentuk" sempurna yang katanya
terdapat "di luar" realitas material yang dapat diamati. Satu-satunya
"realitas puncak" adalah jagad material yang tidak berhingga, abadi,
dan terus berubah, yang jauh lebih indah dalam segala variasi bentuk dan
prosesnya yang tanpa henti ketimbang segala macam petualangan ajaib dari fiksi
ilmiah. Bukannya satu lokasi yang dapat ditentukan - satu "titik" -
tapi sebuah proses, sebuah flux yang tanpa henti. Segala upaya untuk memaksakan
batasan bagi hal ini, dalam bentuk awal atau akhir, pasti akan menemui
kegagalan.
Jauh
sebelum ditemukannya relativitas, ilmu pengetahuan telah menemukan dua prinsip
dasar - kekekalan enerji dan kekekalan massa. Hukum yang pertama ditemukan oleh
Leibniz di abad ke-17, dan kemudian dikembangkan di abad ke-19 sebagai sebuah
hasil dari prinsip-prinsip mekanika. Jauh sebelum itu, manusia jaman purba
telah menemukan secara praktek prinsip kesetaraan antara kerja dan panas,
ketika ia membuat api melalui gesekan, dengan demikian mengubah sejumlah
tertentu enerji (kerja) menjadi panas. Pada awal abad ini, ditemukan bahwa
massa hanyalah salah satu bentuk enerji. Satu partikel materi bukan lain adalah
enerji, yang sangat terkonsentrasi dan terlokalisasi. Jumlah enerji yang
terkonsentrasi dalam sebuah partikel berbanding lurus dengan massanya, dan
jumlah total enerji adalah selalu tetap. Hilangnya sejumlah enerji tertentu
akan selalu diimbangi dengan didapatnya sejumlah enerji dalam bentuk lain.
Sambil terus mengubah bentuknya, bagaimanapun, enerji akan tetap sama
selamanya.
Revolusi
yang disebabkan oleh Einstein adalah satu pembuktian bahwa massa itu sendiri
mengandung jumlah enerji yang luar biasa. Kesetaraan massa dan enerji
dinyatakan dalam persamaan E = mc² di mana c melambangkan kecepatan
cahaya (sekitar 186.000 mil per detik atau 300.000 km per detik), E
adalah enerji yang terkandung dalam sebuah benda diam, dan m adalah
massanya. Enerji yang terkandung dalam massa m adalah setara dengan
massa ini yang dikalikan kuadrat dari kecepatan cahaya yang luar biasa besar
itu. Dengan demikian, massa adalah bentuk enerji yang teramat terkonsentrasi,
kekuatan yang boleh digambarkan oleh fakta bahwa enerji yang dilepaskan dalam
sebuah ledakan atom dihasilkan ketika hanya 10% dari massanya diubah menjadi
enerji. Biasanya, enerji raksasa yang terkunci dalam materi ini tidak mewujud,
dan dengan demikian tidak diperhatikan oleh manusia. Tapi jika proses di dalam
inti atom mencapai satu titik kritis, sebagian enerji akan dilepaskan, sebagai
enerji kinetik.
Karena
massa hanyalah salah satu bentuk enerji, baik materi maupun enerji tidak dapat
diciptakan maupun dihancurkan. Bentuk-bentuk enerji, di pihak lain, sangatlah
beragam. Sebagai contoh, ketika proton di permukaan matahari bersatu untuk
membentuk inti atom helium, enerji nuklir dilepaskan. Pertama-tama ini mungkin
nampak sebagai enerji kinetik dari gerak inti atom, yang kemudian memberi
sumbangan pada enerji panas yang dilepaskan matahari. Sebagian enerji ini
dipancarkan dari matahari dalam bentuk foton, mengandung partikel-partikel
enerji elektromagnetik. Partikel-partikel ini, pada gilirannya, diubah oleh
proses fotosintesis menjadi enerji kimia potensial yang tersimpan dalam
tumbuhan, yang pada giliran selanjutnya, diserap oleh manusia dengan memakan
tanaman, atau hewan yang hidup dari memakan tanaman, untuk menyediakan
kehangatan dan enerji bagi otot, aliran darah, otak, dan lain-lain.
Hukum-hukum
fisika klasik secara umum tak dapat diterapkan pada tingkat sub-atomik. Walau
demikian, terdapatlah satu hukum yang tidak mengenal pengecualian di alam -
hukum kekekalan enerji. Para fisikawan tahu bahwa baik muatan positif maupun
negatif tidaklah dapat diciptakan dari sebuah ketiadaan. Fakta ini dinyatakan
dalam hukum kekekalan muatan listrik. Dengan demikian, dalam proses untuk
menghasilkan partikel beta, lenyapnya neutron (yang tidak bermuatan)
menimbulkan sepasang partikel yang muatannya berlawanan - proton yang bermuatan
positif dan elektron yang bermuatan negatif. Bersama-sama, kedua partikel baru
itu memiliki muatan gabungan setara dengan nol.
Jika
kita melakukan proses kebalikannya, ketika sebuah proton memancarkan sebuah
positron dan berubah menjadi neutron, muatan dari partikel asli (proton) adalah
positif dan partikel yang dihasilkan (neutron dan posittron), bersama-sama,
juga bermuatan positif. Dalam seluruh perubahan yang beraneka ragam ini, hukum
kekekalan muatan dipatuhi secara ketat, seperti halnya hukum-hukum kekekalan
yang lain. Tidak secuilpun enerji yang diciptakan atau dihancurkan. Dan gejala
semacam itu juga tidak akan pernah terjadi.
Ketika
sebuah elektron dan anti-partikelnya, positron, saling menghancurkan, massa
mereka "hilang", yaitu, diubah menjadi dua partikel cahaya (foton)
yang terbang berhamburan ke arah yang berlawanan. Walau demikian, keduanya
memiliki enerji total yang sama dengan kedua partikel yang telah bersatu untuk
menghasilkan mereka. Kesetaraan massa-enerji, momentum linear dan muatan
listrik dipelihara dengan ketat. Gejala ini sama sekali tidak sama dengan
pelenyapan dalam makna penghancuran. Secara dialektik, elektron dan positron
dinegasi dan dipelihara pada saat bersamaan. Materi dan enerji (yang hanya
merupakan dua cara untuk menyatakan hal yang sama) tidak akan pernah dapat
diciptakan maupun dihancurkan, hanya diubah.
Dari
sudut pandang materialisme dialektik, materi adalah realitas objektif yang
diberikan kepada kita dalam persepsi-inderawi. Ini mencakup bukan saja objek
yang "solid" melainkan juga cahaya. Foton adalah sama materialnya
dengan elektron atau positron. Massa terus-menerus diubah menjadi enerji
(termasuk cahaya - foton) dan enerji menjadi massa. "Penghancuran"
sebuah positron dan elektron menghasilkan sepasang foton, tapi kita juga
melihat proses yang kebalikannya: ketika dua foton bertemu, sebuah elektron dan
sebuah positron dapat dihasilkan, asalkan foton itu mengandung enerji yang
cukup. Hal ini kadangkala disajikan pada kita dalam konsep penciptaan materi
"dari ketiadaan". Tidak ada hal semacam itu. Apa yang kita lihat di
sini bukanlah penghancuran maupun penciptaan apapun, tapi satu peralihan yang
terus-menerus dari materi menjadi enerji dan sebaliknya. Ketika sebuah foton
menghantam inti atom, ia berhenti mengada sebagai sebuah foton. Ia hilang, tapi
menyebabkan satu perubahan di dalam atom - sebuah elektron meloncat dari satu
orbit yang lebih rendah ke orbit lain yang lebih tinggi tingkatan enerjinya. Di
sini juga proses yang kebalikannya terjadi. Ketika sebuah elektron melompat ke
orbit yang berenerji lebih rendah, sebuah foton muncul.
Proses
perubahan yang terus-menerus ini, yang mencirikan dunia di tingkat sub-atomik
adalah sebuah pembenaran yang dahsyat terhadap fakta bahwa dialektika bukanlah
sekedar reka-reka subjektif, tapi sungguh-sungguh terhubung dengan proses
objektif yang terjadi secara alamiah. Proses ini telah berjalan tanpa terputus
sepanjang segala abad. Ia adalah pembuktian kongkrit dari tidak dapat
dihancurkannya materi - persis kebalikan dari apa yang tadinya hendak
dibuktikan oleh para idealis.
Telah
beabad-abad para ilmuwan berusaha dengan sia-sia untuk menemukan "batu
penyusun materi" - partikel pamungkas yang terkecil. Seratus tahun yang
lalu, mereka pikir mereka telah menemukannya dalam bentuk atom (yang, dalam
bahasa Yunani, berarti "sesuatu yang tak dapat dibagi lagi").
Penemuan partikel-partikel sub-atomik memaksa fisika untuk merambah lebih dalam
ke dalam struktur materi. Di tahun 1928, para ilmuwan berkhayal bahwa mereka
telah menemukan partikel-partikel yang terkecil - proton, elektron dan foton.
Seluruh dunia material dianggap tersusun dari ketiga partikel ini. Selanjutnya,
ini juga diruntuhkan oleh penemuan neutron, positron, deuteron, dan serombongan
partikel lain, yang semakin kecil, dengan keberadaan yang semakin sekejap -
neutrino, pi-meson, mu-meson, k-meson, dan banyak lagi yang lain. Umur dari
beberapa partikel ini sangat kecil - mungkin sepersejuta detik - sehingga
mereka digambarkan sebagai "partikel virtual" - sesuatu yang sama
sekali tak terbayangkan sebelum datangnya jaman kuantum.
Tauon berumur hanya seperbilyun detik, sebelum luruh menjadi muon,
dan kemudian menjadi elektron. Pion yang netral lebih pendek lagi masa
hidupnya, luruh dalam waktu kurang dari sepertrilyun detik untuk membentuk
sepasang partikel sinar gamma. Walau demikian, partikel-partikel gamma ini
hidup sampai usia lanjut, dibandingkan dengan yang lain-lain yang hanya hidup
selama seperseratus mikrodetik. Beberapa yang lain, seperti partikel sigma
yang netral, luruh setelah seper seratus milyar detik. Di tahun 1960-an, bahkan
hal ini masih dikalahkan oleh penemuan partikel yang lebih pendek lagi masa
hidupnya sehingga keberadaannya hanya dapat disimpulkan dari keharusan mereka
untuk meluruh agar terbentuk beberapa partikel turunan yang telah diketahui.
Masa paro-hidup dari partikel-partikel ini berada di kisaran seper beberapa
trilyun detik. Mereka dikenal sebagai partikel resonan. Dan inipun belum
lagi akhir ceritanya.
Lebih
dari seratus limapuluh partikel lain ditemukan kemudian, yang kemudian dikenal
sebagai hadron. Situasinya demikian ruwet. Seorang fisikawan Amerika,
Dr. Murray Gell-Mann, dalam upayanya untuk menjelaskan struktur
partikel-partikel sub-atomik, telah mempostulatkan beberapa partikel yang lain
lagi, yang lebih mendasar, quark, yang lagi-lagi dicanangkan sebagai
"batu penyusun materi yang pamungkas". Gell-Mann berteori bahwa
terdapat enam jenis quark dan bahwa keluarga quark adalah paralel
dengan keenam anggota keluarga partikel yang lebih ringan, yang disebut lepton.
Semua materi kini dianggap terdiri dari duabelas partikel penyusun. Namun,
bahkan bentuk materi paling dasar yang dikenal ilmu pengetahuan ini masih juga
mengandung kualitas kontradiktif yang sama dengan apa yang kita amati di
seluruh jagad raya, bersesuaian dengan hukum dialektik tentang kesatuan dari
hal-hal yang bertentangan. Quark juga hadir dalam pasangan-pasangan,
dengan muatan postitif dan negatif, sekalipun, dengan anehnya, dinyatakan dalam
pecahan.
Sekalipun
ada fakta bahwa pengalaman telah menunjukkan bahwa tidak ada batasan bagi
materi, para ilmuwan terus berkeras melancarkan pencarian sia-sia terhadap
"batu penyusun materi". Benar bahwa pernyataan itu hanyalah penemuan
sensasional dari para jurnalis dan para ilmuwan yang terobsesi dengan kemungkinan
promosi, dan bahwa pencarian partikel yang semakin lama semakin kecil dan
mendasar adalah kegiatan ilmiah yang sangat bona-fide, yang berguna untuk
memperdalam pengetahuan kita tentang cara bekerjanya alam raya ini. Tapi, walau
demikian, kita tentu mendapatkan kesan bahwa sedikitnya beberapa dari mereka
benar-benar percaya bahwa mungkin bagi kita untuk mencapai satu bentuk realitas
yang pamungkas, yang merupakan batasan di mana di luar itu tidak ada lagi
sesuatupun yang dapat ditemukan, setidaknya di tingkat sub-atomik.
Quark kini dianggap sebagai yang pamungkas dari keduabelas
"batu penyusun" sub-atomik yang katanya menyusun segala materi di
jagad raya. "Hal yang menarik adalah bahwa inilah potongan materi yang
terakhir yang akan pernah kita kenal, seperti yang diramalkan oleh
kosmologi dan Model Standard dari fisika partikel, Dr. David Schramm dilaporkan
berujar, 'Inilah potongan teka-teki yang terakhir itu.'"[iv]
Jadi, quark adalah "partikel pamungkas". Ia disebut
fundamental dan tidak memiliki struktur lagi di dalamnya. Tapi hal yang sama
telah pula diramalkan di masa lalu untuk atom, lalu proton, dan sebagainya dan
seterusnya. Dengan cara yang sama, kita dapat dengan yakin meramalkan penemuan
bentuk-bentuk yang lebih "fundamental" lagi dari materi di masa
depan. Fakta bahwa keadaan pengetahuan dan teknologi kita yang sekarang
tidaklah mengijinkan kita untuk menentukan sifat-sifat quark tidaklah
kemudian mewajibkan kita untuk mengatakan bahwa ia tidak memiliki struktur lagi
di dalamnya. Sifat dan ciri quark masih harus menunggu telaah lebih
lanjut, dan tidak ada alasan untuk menganggap bahwa hal ini tidak akan mungkin
tercapai, bahwa mustahil bagi kita untuk merambah ke kedalaman struktur materi
yang tidak berujung. Inilah cara yang selalu ditempuh ilmu pengetahuan dalam
kemajuannya. Halangan yang tadinya dianggap mustahil dipecahkan oleh satu
generasi dijungkirkan oleh generasi berikutnya, dan demikian seterusnya
sepanjang jaman. Seluruh pengalaman lampau kita memberi segala alasan untuk
percaya bahwa proses dialektikal atas kemajuan pengetahuan manusia ini adalah
sama tak berujungnya seperti jagad raya itu sendiri.
Catatan
untuk Bagian Dua
Komentar
Posting Komentar
silahkan komentarnya yang kritis tapi membangun,
terimah kasih